CIMAHI-GMN,- Kejaksaan Tinggi Jawa Barat (Kejati Jabar) menyetujui tiga perkara pidana untuk diselesaikan melalui mekanisme Restorative Justice (RJ) di wilayah hukum Kejaksaan Negeri (Kejari) Cimahi.
Keputusan ini menjadi bukti nyata bahwa aparat penegak hukum tidak hanya berorientasi pada penghukuman, tetapi juga mengedepankan pemulihan bagi korban, tersangka, dan masyarakat.
Restorative Justice, yang diatur dalam Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, menjadi salah satu terobosan hukum yang kini semakin dirasakan manfaatnya oleh masyarakat kecil.

Tiga Perkara yang Diselesaikan Lewat RJ
Adapun tiga perkara yang disetujui untuk diselesaikan dengan keadilan restoratif adalah:
- Tindak pidana penggelapan oleh tersangka A.N., seorang penjaga konter handphone.
- Tindak pidana penipuan/penggelapan oleh tersangka R.A. alias O., seorang anak yatim yang menjadi tulang punggung keluarga. Dengan penghasilan terbatas, ia harus menafkahi ibu dan adiknya yang masih bersekolah.
- Tindak pidana penadahan oleh tersangka C.B.A., seorang buruh petik kelapa yang harus menghidupi empat anak.
Ketiga kasus ini memiliki kesamaan, yakni para pelaku berasal dari kalangan masyarakat kecil yang melakukan tindak pidana karena keterbatasan ekonomi.
Kepala Kejari Cimahi Nurintan M.N.O. Sirait, S.H., M.H menegaskan bahwa penyelesaian perkara melalui RJ bukan berarti membebaskan pelaku begitu saja.
“Keadilan restoratif hadir untuk mengembalikan keseimbangan, bukan untuk membebaskan pelaku, melainkan memberikan kesempatan memperbaiki diri melalui tanggung jawab sosial dan pembinaan,” ujarnya, Senin (29/9/2025).
15 Rumah Restorative Justice di Cimahi
Sebagai tindak lanjut penerapan RJ, Kejari Cimahi telah membentuk 15 Rumah Restorative Justice (Rumah RJ) yang tersebar di berbagai wilayah Kota Cimahi. Rumah RJ ini dibangun berdasarkan nota kesepahaman (MoU) dengan Pemerintah Kota Cimahi.
Fungsinya bukan hanya sebagai tempat mediasi antara korban dan pelaku, tetapi juga sebagai wadah musyawarah, tempat edukasi hukum, serta pusat pemulihan sosial berbasis kearifan lokal.
Dengan adanya Rumah RJ, masyarakat memiliki akses lebih mudah dalam mencari penyelesaian perkara yang adil dan humanis.
Program Pemulihan & Pelatihan Keterampilan
Tidak berhenti pada penghentian penuntutan, Kejari Cimahi bersama Pemerintah Kota Cimahi juga menyiapkan berbagai program pelatihan keterampilan bagi para pelaku RJ.
Beberapa di antaranya adalah:
- Pelatihan jasa konstruksi
- Pelatihan barbershop
- Pelatihan bengkel motor
- Pelatihan keterampilan wirausaha lainnya
Ketiga tersangka yang baru saja mendapat persetujuan RJ juga akan mengikuti program ini. Tujuannya jelas: agar mereka tidak mengulangi perbuatan yang sama, memiliki keterampilan baru, serta bisa lebih mandiri dalam menghidupi keluarganya.
Kepala Kejari Cimahi menambahkan, “Kami tidak hanya menghentikan perkara, tapi juga memberikan solusi nyata agar pelaku dapat kembali ke masyarakat dengan lebih baik, memiliki keterampilan, dan berdaya secara ekonomi.”
SKP2 & Pendampingan Keberlanjutan
Ketiga perkara yang disetujui RJ akan segera ditindaklanjuti dengan penyerahan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) secara resmi.
Kejari Cimahi juga memastikan bahwa para pelaku akan tetap mendapatkan pendampingan sosial dan pembinaan.
Hal ini dilakukan bekerja sama dengan Dinas Ketenagakerjaan Kota Cimahi, sehingga program RJ benar-benar memberi dampak nyata, bukan hanya sekadar penghentian perkara.
Catatan Sepanjang Tahun 2025
Selama tahun 2025, Kejari Cimahi sudah berhasil menyelesaikan 13 perkara melalui Restorative Justice.
Selain itu, saat ini masih ada satu perkara tindak pidana kekerasan bersama (Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP) dengan tersangka R.H. dan I.K. yang sedang dalam tahap permohonan RJ.
Catatan ini menunjukkan bahwa penerapan RJ bukan hanya wacana, tetapi sudah menjadi praktik nyata dalam proses penegakan hukum di Kota Cimahi.
Penegakan Hukum Humanis: Tajam ke Atas, Humanis ke Bawah
Restorative Justice adalah bagian dari implementasi arahan Jaksa Agung Republik Indonesia untuk menghadirkan hukum yang “Tajam ke Atas, Humanis ke Bawah.”
Prinsip ini berarti bahwa hukum tetap tegas terhadap pelanggaran besar yang merugikan negara dan masyarakat luas, namun juga harus memiliki sisi humanis dalam menyelesaikan perkara kecil yang dilakukan oleh masyarakat dengan latar belakang keterbatasan ekonomi dan sosial.
Dengan demikian, hukum bukan hanya alat penghukuman, tetapi juga sarana untuk menciptakan keadilan yang berorientasi pada pemulihan, kemanusiaan, dan kesejahteraan sosial.