BANDUNG BARAT-GMN,- Keputusan mengejutkan datang dari Pemerintah Kabupaten Bandung Barat pada Minggu (22/9), ketika Surat Keputusan (SK) Bupati terkait kenaikan tunjangan anggota DPRD resmi dibatalkan.
Alih-alih meredam gejolak, langkah mendadak ini justru memicu gelombang kritik tajam dari berbagai kalangan.
Pertanyaan publik pun bermunculan: mengapa keputusan penting seperti pembatalan SK diumumkan di hari Minggu, di luar jam kerja formal birokrasi? Praktik tersebut dipandang tidak selaras dengan prinsip fatsun birokrasi, yang menekankan keteraturan administrasi, penghormatan terhadap prosedur, serta tata kelola pemerintahan yang tertib.
Ironisnya, SK kenaikan tunjangan DPRD itu sendiri baru saja diteken pada Jumat lalu, setelah Bupati menyatakan telah melakukan kajian selama satu minggu penuh. Namun hanya berselang dua hari, keputusan itu dicabut pada hari libur.
Pola tarik-ulur kebijakan yang begitu cepat ini menimbulkan tanda tanya besar: apakah kajian tersebut benar-benar mendalam atau sekadar formalitas untuk melegitimasi keputusan yang sarat kepentingan politik?
“Ini seperti dagelan politik. Keputusan penting soal keuangan negara dikeluarkan dan dicabut tanpa perhitungan matang, apalagi diumumkan di hari Minggu. Ini bukan hanya soal legalitas, tapi juga soal etika birokrasi,” ungkap seorang pengamat kebijakan publik Agus Satria di Bandung Barat dalam keterangan persnya yang diterima redaksi, pada Senin (22/9/2025).
Secara normatif, pembatalan SK Bupati tidak bisa dilakukan sembarangan. Ada prosedur birokrasi yang harus ditempuh, antara lain:
1. Pencabutan SK wajib dituangkan dalam keputusan baru yang jelas, disertai alasan hukum, administratif, dan substansial yang dapat dipertanggungjawabkan.
2. Proses administratif harus melibatkan biro hukum, bagian organisasi, serta perangkat daerah terkait, bukan diumumkan sepihak oleh Bupati.
3. Waktu dan mekanisme pembatalan mestinya dilakukan pada hari kerja resmi agar tercatat secara formal dalam sistem administrasi pemerintahan.
Namun, yang terlihat justru sebaliknya: SK diteken Jumat, dibatalkan Minggu, tanpa kejelasan mekanisme resmi, ujar Agus Satria.
Kondisi ini semakin mempertegas dugaan bahwa keputusan tersebut lebih didorong oleh tekanan politik ketimbang pertimbangan birokrasi yang sehat.
Publik kemudian mempertanyakan peran Sekretaris Daerah (Sekda) sebagai panglima birokrasi di daerah.
Sekda seharusnya menjadi pengendali utama administrasi pemerintahan, memastikan bahwa setiap kebijakan Bupati berjalan sesuai prosedur dan menjunjung tinggi fatsun birokrasi.
Dengan adanya keputusan strategis yang lahir Jumat dan mati Minggu, fungsi koordinasi dan kontrol administrasi oleh Sekda seakan hilang.
“Sekda itu jantung birokrasi. Kalau sampai ada keputusan strategis yang ditarik-ulur dalam hitungan dua hari, patut dipertanyakan bagaimana perannya dalam mengawal proses administrasi,” kata seorang Pemerhati kebijakan publik.
Fenomena ini semakin menambah citra inkonsistensi kepemimpinan di Pemkab Bandung Barat.
Pernyataan Bupati yang mengklaim telah mengkaji kenaikan tunjangan DPRD selama seminggu, namun kemudian mencabut hasil kajian hanya dalam dua hari, menimbulkan keganjilan.
Publik menilai birokrasi di Bandung Barat berjalan tambal sulam, tanpa arah kebijakan yang jelas.
Pada akhirnya, pembatalan SK di hari Minggu ini bukan hanya persoalan teknis, melainkan menyentuh wibawa pemerintahan.
Fatsun birokrasi jelas diduga dilanggar, peran Sekda dipertanyakan, dan citra tata kelola pemerintah daerah yang mestinya berwibawa justru tampak rapuh serta inkonsisten di mata masyarakat.