BANDUNG, GMN,- Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABPPTSI) Jabar, menyoroti masih adanya ketidakadilan perlakuan antara Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dalam berbagai aspek, terutama terkait regulasi dan pendanaan. Pertanyaan besar muncul, berapa porsi dana yang diterima oleh PTS? Faktanya, sebagian besar PTS harus mandiri secara pendanaan, padahal PTS diwajibkan mematuhi regulasi yang ketat dengan biaya operasional yang tidak kecil.
Ketua ABPPTSI Jabar Dr. R. Ricky Agusiady, menyebut transformasi pendidikan tinggi swasta di Indonesia menuju Indonesia emas (Asta Cita), sebuah ‘Paradoks’. Pasalnya, penyelenggara pendidikan tinggi swasta belum merasakan pemerataan akses dari Pemerintah.
“Lebih ironis, keberadaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH) justru memicu persaingan yang tidak seimbang. Dengan dalih otonomi pengelolaan, banyak PTN BH bertindak brutal dalam industrialisasi pendidikan, berlomba-lomba membuka keran masuk mahasiswa melalui berbagai jalur tanpa kuota yang jelas,” sebutnya, dalam dialog Pro 1 RRI Bandung, Selasa (8/7/2025).
Ia menyampaikan bahwa hingga kini perguruan tinggi swasta masih menghadapi berbagai tantangan yang tidak ringan. Dari sekitar 4.000 PTS di Indonesia, 400 di antaranya berada di Jawa Barat dengan tingkat pengangguran tertinggi di Indonesia.
Salah satu hal krusial yang disorot ABPPTSI adalah sistem penerimaan mahasiswa baru yang dianggap meminggirkan PTS. Ricky menilai keberadaan jalur mandiri PTN justru memicu ketimpangan baru. “Kuota mahasiswa untuk PTS makin menipis, meskipun biaya jalur mandiri di PTN bisa dua kali lipat lebih mahal dibandingkan PTS, masyarakat masih menganggap PTN lebih bergengsi,” katanya.
Ricky beberkan, skema SNPMB kini terdiri dari Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) dan Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT). Namun, praktiknya berkembang menjadi multi-jalur, jalur undangan, prestasi, OSIS, talenta, tes, hingga jalur mandiri.
“Ironisnya, jalur mandiri PTN BH sering kali dijalankan secara brutal dengan penetapan biaya pendaftaran dan uang kuliah yang sangat tinggi. Jika tujuan inovasi PTN BH adalah untuk generated income, tentu sah-sah saja, asalkan dilakukan dengan cara yang bermartabat, bukan justru mematikan eksistensi PTS,” imbuhnya.
PTS memiliki peran strategis dalam program ASTA CITA Presiden Prabowo Subianto, yaitu, penguatan ketahanan ekonomi, peningkatan SDM berkualitas, pembangunan infrastruktur, reformasi birokrasi, transformasi pelayanan publik, reformasi sosial dan budaya, pemantapan demokrasi dan supremasi hukum, serta pemajuan kehidupan kebangsaan.
“PTS memegang peran vital terutama pada poin kedua (peningkatan SDM) dan kelima (transformasi pelayanan publik). Bahkan, jika dikelola dengan strategi berkelanjutan, PTS berpotensi menjadi katalis di hampir seluruh butir ASTA CITA. Sudah waktunya Pemerintah melihat peran PTS sebagai mitra strategis pembangunan bangsa,” bebernya.
Masih kata Ricky, Jika visi Indonesia Maju ingin benar-benar terwujud, maka keberpihakan dan kebijakan yang adil bagi PTS harus menjadi prioritas.
Diketahui, Badan Penyelenggara PTS menanggung sendiri investasi awal, mulai dari aspek 3M (Man, Money & Material). Mereka pun wajib memisahkan aset untuk kepentingan pendidikan, sedangkan PTN justru sepenuhnya difasilitasi negara, mulai dari tanah, gedung, sarana prasarana, hingga SDM yang notabene berstatus PNS dan dibiayai oleh negara, termasuk pembiayaan pengembangan kariernya melalui APBN.
Tidak berhenti di situ. PTS juga dibebankan kewajiban akreditasi secara berkala. Dengan adanya Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM), beban biaya akreditasi semakin tinggi. Padahal, semestinya biaya akreditasi ini menjadi tanggung jawab negara melalui APBN, seperti halnya akreditasi yang dilakukan BAN-PT.