BANDUNG-GMN,-Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat resmi menahan satu tersangka dalam kasus dugaan korupsi pemberian tunjangan perumahan bagi pimpinan dan anggota DPRD Kabupaten Bekasi Tahun 2022–2024. Kasus ini diduga menimbulkan kerugian keuangan negara mencapai Rp20 miliar.
Asisten Tindak Pidana Khusus Kejati Jabar, Roy Rovalino, S.H., M.H., mengungkapkan perkembangan penyidikan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Print-66/M.2/Fd.1/08/2025 dan Print-3420/M.2/Fd.2/12/2025. Tim penyidik telah menetapkan dua tersangka:
- R.A.S. – Sekretaris DPRD Kabupaten Bekasi periode 2022–2024, kini menjabat sebagai Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kabupaten Bekasi.
- S – Wakil Ketua DPRD Kabupaten Bekasi periode 2022–2024.
Modus: Penetapan Nilai Tunjangan Tanpa Mekanisme Resmi
Kasus bermula saat anggota DPRD mengajukan kenaikan tunjangan perumahan pada 2022. R.A.S. selaku Sekretaris DPRD dan sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) menunjuk KJPP Antonius untuk melakukan penilaian resmi. Hasil perhitungan KJPP menghasilkan nilai tunjangan: Ketua: Rp42,8 juta, Wakil Ketua: Rp30,35 juta dan Anggota: Rp19,806 juta.
Namun nilai tersebut ditolak oleh pimpinan dan anggota DPRD. Dalam proses berikutnya, perhitungan tunjangan untuk wakil ketua dan anggota DPRD dilakukan tanpa melibatkan penilai publik dan ditentukan sendiri oleh anggota DPRD yang dipimpin tersangka S. Tindakan tersebut jelas melanggar PMK No. 101/PMK.01/2014.
Akibat manipulasi nilai tunjangan tersebut, negara mengalami kerugian sekitar Rp20 miliar.
Status Penahanan
Tersangka R.A.S. resmi ditahan di Rutan Kelas I Kebon Waru selama 20 hari, terhitung 9–28 Desember 2025 berdasarkan Surat Perintah Penahanan PRINT-3421/M.2.5/Fd.2/12/2025.
Sementara itu, tersangka S tidak ditahan karena sedang menjalani pidana penjara di Lapas Sukamiskin.
Ancaman Hukuman
Kedua tersangka dijerat dengan Pasal 2 dan Pasal 3 Jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999
sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Jo Pasal 56 KUHAP.
Kasus ini menjadi perhatian publik karena menyangkut penyalahgunaan kewenangan dan manipulasi nilai tunjangan yang seharusnya mengikuti mekanisme penilaian resmi.











