Scroll kebawah untuk baca berita/artikel !
Example floating
Example floating
Example 728x250
HeadlineNASIONAL

5 Pasal Kontroversial RUU Perampasan Aset Dinilai Multitafsir, Bisa Rugikan Rakyat Kecil

147
×

5 Pasal Kontroversial RUU Perampasan Aset Dinilai Multitafsir, Bisa Rugikan Rakyat Kecil

Sebarkan artikel ini
Istimewa.
Example 468x60

GMN,- Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset yang tengah digodok DPR dan pemerintah menuai sorotan publik. Meski disebut sebagai senjata ampuh negara dalam memberantas korupsi dan kejahatan luar biasa, sejumlah pasalnya dianggap kontroversial dan berpotensi multitafsir.

Guru Besar Universitas Negeri Makassar, Prof. Dr. Harris Arthur Hedar, SH, MH, menilai ada lima pasal yang perlu dikritisi sebelum RUU Perampasan Aset disahkan. Pasal-pasal tersebut dinilai rawan disalahgunakan hingga bisa merugikan rakyat kecil.

Example 300x600

“RUU ini punya tujuan mulia, tapi beberapa ketentuan justru bisa membuat hukum menakutkan ketimbang melindungi. Kalau dibiarkan, kepercayaan masyarakat terhadap hukum bisa menurun,” ujarnya,dalam keterangan persnya yang diterima redaksi Selasa (16/9/2025).

5 Pasal RUU Perampasan Aset yang Dinilai Kontroversial 

Pasal 2 mendalilkan negara bisa merampas aset tanpa menunggu putusan pidana. Masalah yang timbul adalah menggeser asas praduga tak bersalah. Risikonya, pedagang atau pengusaha yang lemah dalam administrasi pembukuan, kekayaannya bisa dianggap ‘tidak sah’.

Demikian juga Pasal 3, yang menyatakan aset dapat dirampas meskipun proses pidana terhadap orangnya tetap berjalan. Ini akan menimbulkan dualisme hukum perdata dan pidana. Risikonya masyarakat bisa merasa dihukum dua kali: aset dirampas, sementara dirinya tetap diadili.

Berikutnya Pasal 5 ayat (2) huruf a, mengatakan perampasan dilakukan bila jumlah harta dianggap ‘tidak seimbang’ dengan penghasilan sah. Persoalannya frasa kalimat ‘tidak seimbang’ sangat subjektif. Risikonya seorang petani yang mewarisi tanah tanpa dokumen lengkap bisa dicurigai, karena asetnya dianggap lebih besar dari penghasilan hariannya.

Pasal 6 ayat (1) juga perlu dicermati. Aset bernilai minimal Rp 100 juta bisa dirampas. Persoalannya ambang batas nominal bisa salah sasaran. Karena seorang buruh yang berhasil membeli rumah sederhana Rp 150 juta bisa terjerat, sementara penjahat bisa menyiasati dengan memecah aset di bawah Rp 100 juta.

Baca Juga:  Siap Memanjakan Pengunjung, Objek Wisata Alam Curug Ciangin Cocok Untuk Liburan Tahun Baru 2025

Selanjutnya Pasal 7 ayat (1) yang menyatakan aset tetap bisa dirampas meskipun tersangka meninggal, kabur, atau dibebaskan. Persoalannya hal ini bisa merugikan ahli waris dan pihak ketiga yang beritikad baik. Risikonya, anak-anak bisa kehilangan rumah warisan satu-satunya karena orang tuanya pernah dituduh tindak pidana.

Selain itu, mekanisme pembuktian juga dipersoalkan. RUU mendalilkan reverse burden of proof (beban pembuktian terbalik), sehingga rakyat harus membuktikan hartanya sah. “Ini membalik prinsip dasar hukum. Yang menuduh seharusnya yang membuktikan, bukan rakyat,” tegas Harris.

Usulan Perbaikan

Harris mendorong agar pembahasan RUU Perampasan Aset memperjelas definisi istilah multitafsir seperti “tidak seimbang”, memberikan perlindungan bagi ahli waris serta pihak ketiga, hingga memastikan adanya putusan pengadilan independen sebelum perampasan dilakukan.

Ia juga menekankan pentingnya transparansi, pengawasan publik, serta bantuan hukum gratis bagi masyarakat kecil yang terdampak. Sosialisasi dan literasi hukum dinilai wajib agar rakyat memahami hak-haknya.

“Tanpa itu semua, ibarat pedang bermata dua, rakyat kecil bisa dikriminalisasi karena lemah administrasi, sementara orang kaya bisa melindungi asetnya dengan pengacara dan dokumen,” pungkasnya.


Example 300250
Example 300250
Example 300250
Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!