BANDUNG, GMN,- Keberadaan satuan tugas (satgas) yang dibentuk melalui Keputusan Presiden (Keppres) dan Peraturan Presiden (Perpres) terus bertambah sejak era Reformasi 1998. Selama 25 tahun terakhir, sedikitnya 21 satgas telah dibentuk, termasuk Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) yang diluncurkan awal 2025 di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, namun efektivitas dan akuntabilitas satgas tersebut kembali dipertanyakan.
Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, menilai perlunya evaluasi menyeluruh terhadap setiap satgas, khususnya Satgas PKH yang kini sedang menjalankan mandat besar untuk menertibkan kawasan hutan di seluruh Indonesia. Ia menyampaikan bahwa indikator paling sahih untuk mengukur keberhasilan satgas adalah laporan hasil pemeriksaan (LHP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI.
”Reformasi 1998 bukan hanya melahirkan demokrasi, tapi juga ledakan lembaga ad hoc bernama satuan tugas. Namun, pertanyaannya sederhana, apakah mereka terbukti bekerja efektif dan akuntabel? Jawaban paling jujur datang dari LHP BPK,” ujar Iskandar dalam keterangannya, Jumat, (4/6/2025).
Pembentukan Satgas PKH melalui Perpres Nomor 5 Tahun 2025 pada 21 Januari lalu menjadi perhatian khusus. Iskandar menilai, meskipun satgas ini telah melakukan langkah-langkah fisik untuk menguasai jutaan hektare kawasan hutan, pelaksanaannya menyimpan sejumlah risiko penting, mulai dari aspek legal, sosial hingga pengelolaan anggaran.
Ia mencatat potensi konflik agraria sebagai masalah serius akibat belum adanya skema ganti rugi yang jelas serta lemahnya kesiapan relokasi masyarakat terdampak. Bahkan, ia mengkhawatirkan bahwa dana besar justru lebih digunakan untuk kebutuhan pengamanan ketimbang pemulihan sosial.
“Lebih parah lagi, bisa saja BPK beri catatan yang memperingatkan: ‘Risiko konflik horizontal meningkat jika penyelesaian tidak berbasis hukum adat dan musyawarah lokal,’” ujar Iskandar.
Iskandar menyampaikan beberapa saran kepada Presiden Prabowo untuk segera melakukan revisi terhadap Perpres Satgas PKH. Ia menekankan pentingnya mengatur ulang mekanisme ganti rugi, pengakuan terhadap hukum adat, serta penyelesaian konflik dengan metode mediasi.
Ia juga menyarankan audit ulang terhadap data sertifikasi lahan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan pelibatan langsung Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT), serta masyarakat adat dalam proses relokasi dan pemberdayaan.
Menurut Iskandar, prinsip yang harus ditegakkan adalah bahwa semua satgas wajib tunduk pada audit dan tidak boleh kebal dari pengawasan publik. Dikatakan, Jjka penunjukan kawasan hutan belum sah, maka penertiban bisa menjadi pemaksaan dan Iharus dipikirkan dengan seksama oleh presiden.
“Karena kalau satgas tidak diukur dengan audit BPK dan tidak diawasi rakyat, maka yang tersisa hanya kuasa, bukan keadilan,” pungkas Iskandar.
IAW Ingatkan Konflik Agraria Pasca Terbentuknya Satgas PKH
Rengga MY2 min baca

