BANDUNG, GMN,- Saresehan Kaukus Ketokohan Jawa Barat menggelar diskusi yang mengangkat tema refleksi kritis atas 100 hari kinerja Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Diskusi itu Mengangkat tema “Populisme vs Profesionalisme: Antara Gebrakan dan Kontroversi”.
Diskusi dipandu oleh Ketua Kaukus, Eka Santosa menghadirkan lintas tokoh dari aktivis hingga akademisi, Dody Permana, Dr. Drs. Affan Sulaeman (Dosen FISIP UNPAD), Deden Rukman Rumadji (mantan Wakil Bupati Bandung), Yan Rizal, Komeng (politisi PPP), Budi, Caca, Sandy dari media Republika, dan Neneng selaku aktivis perempuan.
Kritik Terstruktur dan Sikap Tegas Kaukus Eka Santosa membuka diskusi dengan menegaskan bahwa penilaian terhadap Gubernur Jabar Dedi Mulyadi harus ditempatkan dalam konteks sistem pemerintahan, bukan semata soal personal atau relasi privat. Ia mengkritik konten-konten digital yang diproduksi oleh tim Gubernur yang jumlahnya mencapai 20 orang yang lebih banyak menyoroti sisi personal KDM ketimbang program-program pemerintahan Jabar.
Kaukus pun menyoroti narasi “Jabar Istimewa” yang belakangan dikampanyekan KDM. “Istimewa itu harus diukur dari data, struktur kewenangan, dan kebijakan. Bukan sekadar jargon politik,” kata Eka, di Bandung, Jumat (30/5/2025).
Dr. Affan dari FISIP UNPAD menyampaikan bahwa tidak ada monopoli kebenaran dan kesalahan dalam demokrasi. Kritik dan dialog menjadi niscaya di era desentralisasi yang memberi ruang kepada daerah untuk mengelola otonomi. “Jangan sampai kita kembali ke zaman feodal, di mana kekuasaan dipertontonkan dan kebijakan ditentukan sepihak,” tegas Affan.
Affan menekankan perlunya struktur kebijakan yang berbasis data dan argumentasi teoritis. “Jangan sampai Gubernur menjadi one man show. Keputusan publik tak bisa hanya didasarkan pada popularitas, tapi harus mengakar pada kebutuhan riil masyarakat: pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur,” tandasnya.
Aktivisme Kampung Dody Permana nyatakan kekhawatiran terhadap Politik Konten atas maraknya politik pencitraan yang dibungkus dalam konten-konten digital. Ia menilai, konten yang viral belum tentu mencerminkan kebijakan yang berdampak. “Ada kecenderungan dominasi ala kerajaan. Bahkan sepakbola pun ikut dijadikan alat kampanye identitas,” ujarnya.
Ia juga mengarahkan kritik pada DPRD Jawa Barat yang dianggap pasif dan kurang tegas dalam menjalankan fungsi pengawasan. “KDM jangan terlalu lembek. Tapi DPRD juga jangan diam,” tegas Dody.
Selain itu, pembicara lainnya Komeng menambahkan, keputusan keputusan strategis semestinya didasarkan pada survei, data RTRW, dan indikator ketahanan pangan. “Kita butuh Gubernur yang merancang kebijakan, bukan hanya konten viral. Seperti konten pembongkaran bangunan di puncak Bogor yang dimiliki BUMD Jabar perlu dibahas lebih detail, lalu kebijakan ijasah gratis dalam dunia pendidikan harus secara struktural diputuskan, bukan dibungkus dalam pesan personal,” kata Komeng.
Aktivis budaya dan lingkungan, Kang Utun, menyuarakan krisis ekologis yang luput dari perhatian. Indeks kualitas lingkungan hidup Jabar disebut terus menurun, dengan masalah kronis seperti air bersih, udara, dan pengelolaan sampah. “KDM bicara solusi, tapi Sari Mukti sudah overload, ini fakta yang tak bisa dipoles dengan konten. Kalau sunda itu eling, maka Gubernur harus memberi contoh dengan bahasa dan kebijakan yang mencerminkan nilai itu. Jangan buat narasi bahasa kasar dalam kontennya,” ujarnya.
Kaukus Ketokohan berkomitmen akan merumuskan hasil diskusi ini menjadi rekomendasi strategis. Bukan untuk menggulingkan kekuasaan, tetapi membangun kritik objektif yang bisa menjadi pemantik perbaikan tata kelola di Jawa Barat.