Jakarta-GMN,- Ahli waris Kapten Purn Niing bin Sanip dengan tegas tetap melawan kezaliman yang dilakukan pengembang Pantai Indah Kapuk (PIK) PT Mandara Permai, meski gugatan terhadap ganti rugi lahan garapan miliknya tidak dikabulkan Pengadilan Negeri Jakarta Utara dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Kuasa Hukum ahli waris, Yudha Akilman, SH menyatakan pihaknya telah mengajukan memori banding gugatan perdata, meminta pembayaran ganti rugi atas tanah garapannya yang disertipikatkan oleh pengembang, pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA) RI baru baru ini.
Dia menjelaskan, kronologis dari tuntutan gugatan sangat jelas, bermula dari adanya lahan warga masyarakat atas nama Niing bin Sanip dan warga lain, yang dikuasai berdasarkan ijin garap dari Walikota Jakarta Utara No. 147/AV-2/B/78, tanggal 7 April 1978.
Kemudian lahan-lahan tersebut disertipikatkan oleh pengembang dengan alasan sebagai bagian lahan yang diserahkan negara kepada pengembang PT Mandara Permai melalui proses tukar menukar lahan (ruislag).
“Permasalahan hukumnya, para penggarap, Niing bin Sanip dan beberapa warga lain tidak mendapatkan uang penggantian dari pengembang. Dalam proses pembebasannya nama Niing CS tidak tercatat dalam daftar nama-nama yang mendapatkan penggantian,” ujar Yudha dalam keterangannya yang diterima media, Senin (9/12/2024).
Dia melanjutkan, hal itu yang kemudian dimusyawarahkan beberapa kali dengan instansi-instansi termasuk Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang memfasilitasi untuk bermusyawarah. Akan tetapi pihak pengembang tetap tidak memberikan ganti rugi kepada Niing dan beberapa warga yang namanya pada waktu pembebasan tidak masuk dalam daftar.
“Sampai akhirnya berperkara di Pengadilan Negeri Jakarta Utara sebagai peradilan tingkat pertama. Lanjut banding di Pengadilan Tinggi DKI dan sekarang ini sedang pemeriksaan tahap kasasi di Mahkamah Agung,” terangnya.
Menurut Yudha, telah menjadi suatu hal yang lumrah, jika terhadap bidang tanah yang hendak dibebaskan ternyata terdapat penggarap. Maka calon penerima hak atas tanah wajib memberikan penggantian. Namun, Pengadilan Negeri dan Tinggi mengabaikan hal itu melalui putusannya.
Pengadilan Negeri dan Tinggi tidak sependapat dengan kami pak dan menolak gugatan. Pertimbangan hukumnya lebih kurang menyatakan tidak cukup kuat bukti terkait pembayaran retribusi pajak atas tanah yang digarap,” ungkapnya.
Dia menambahkan, tuntutan dalam memori banding gugatan di MA jelas, pada pokoknya mendapatkan penggantian atas tanah penggarap yang telah disertipikatkan oleh pengembang. Yudha juga mengaku akan menempuh jalur lain yakni pengaduan kepada Presiden RI, Prabowo Subianto.
Modus Ruislag
Aris Adnan, mantan Inspektorat DKI Jakarta menyatakan awal mula penggarapan proyek PIK 1 adalah tukar menukar (ruislag) tanah ex hutan mangrove. Namun dalam prosesnya terjadi penyimpangan-penyimpangam yang telah diatur dalam peraturan yang berlaku dengan modus peta bidang tanahnya disembunyikan .
Menurutnya, selain modus dimaksud, pengembang juga mengambil lahan lebih dari luas yg ditetapkan dalam perjanjian yang disepakati. Sebagai bukti fakta saat ini adalah lahan yang dikuasai oleh Pemerintah DKI Jakartai dan telah dikeluarkan hak garapan kepada Kapten Purn Niing bin Sanip.
“Tanah garapan Niing bukan bagian dari kesepakatan ruislag dan jelas-jelas berada di luar batas tanah yang disepakati oleh pengembang dengan Kementeian Kehutanan. Bahkan pemerintah telah menerbitkan (Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sesuai nama-nama penggarap. Ternyata diserobot dan dijadikan kawasan PIK 1,” ujarnya dalam keterangan yang diterima media, Senin (9/12/2024).
Aris menjelaskan, penyimpangan berlanjut dengan Penerbitan SK No. 3/HGB/BPN/1997 SK No.4/HGB/BPN/1997 sampai penerbitan sertifikat tanah No. 3514/ Kapuk Muara dan No. 3515/ Kapuk Muara meski tidak memenuhi aspek-aspek pertanahan atas nama PT Mandara Permai.
Merasa memiliki hak atas tanahnya tersebut, Kapten Niing Cs, menentang kesewenang-wenangan pengembang dengan cara melakukan unjuk rasa ke kantor pengembang menuntut ganti rugi. Upaya tersebut direspon PT Mandara Permai pada 14 Agustus 2002 yang kemudian diterima di kantor pemasarannya.
Dari pertemuan tersebut lahir kesepakatan dari pihak pengembang untuk menindak lanjuti masalah ganti rugi, ke Panitia Sembilan sebagai pihak pelaksana pembebasan tanah.
Namun, tidak ada kejelasan dari kesepakatan tersebut hingga akhirnya pada 12 Agustus 2004, diwakili kuasa hukum PT Mandara Permai, DS. Dalimping dan Oloan Batubara, SH pihaknya kembali mengadakan pertemuan, membahas klaim ganti rugi atas tanah garapan itu.
Dia mengungkapkan, pengembang seperti sengaja mengulur-ulur waktu agar permasalahan ini tak kunjung selesai. Bahkan, lantaran tak kunjung selesai Niing CS pernah menyurati instansi pemerintah termasuk Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono.
Sebelumnya mantan Gubernur DKI Jakarta R. Soeprapto melalui surat Dewan Harian Nasional 45 No. 125/III/2007 tertanggal 13 Maret 2007 kepada Walikota Jakarta Utara dan Surat No. 404/ Setjen/IV/2008 tanggal 9 April 2008 telah memberi rekomendasi untuk menyelesaikan status garapan Niing bin Sanip dan meminta penyelesaian tuntas lahan tersebut.
Hal yang sama dilakukan Sekretaris Negara Republik Indonesia Melalui surat No. B-4261/Setneg/D5/12/2027 baik kepada PT MP maupun ke Gubernur DKI Jakarta kala itu. Begitu juga yang dilakukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta. Komisi A DPRD DKI Jakarta telah menerima delegasi Niing bin Sanip Cs dan intinya memerintahkan kepada PT MP agar segera membayar ganti rugi hak garapan Niing Cs.
“Akan tetapi sampai Niing bin Sanip meninggal hingga sekarang ahli waris belum menerima ganti rugi. Saat ini ahli waris Niing yang diwakili oleh Limar Cs tetap meminta saya untuk mengurus ganti rugi ini. Maka saya berharap apa yang menjadi hak mereka segera diselesaikan oleh pengembang,” tegas Joko.
Dia mengungkapkan, perampasan lahan warga oleh pengembang PIK bukan barang baru. Bahkan, sudah terjadi sejak puluhan tahun lalu. Faktanya bahkan seorang purnawirawan pejuang kemerdekaan pun menjadi korban. Padahal Kapten Niing adalah penerima tanda jasa Bintang Gerilya.